Kamis, 21 Juni 2012

Keutamaan Bulan Sya'ban



Dari Abu Salamah ra bahwa Aisyah ra mengatakan kepadanya, ‘Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa pada bulan tertentu lebih banyak dari pada puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau berpuasa penuh di bulan sya’ban. Beliau juga berkata, ‘Kerjakanlah satu amalan sesuai
dengan kemampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan pernah bosan hingga kalian bosan. Dan shalat yang paling disukai oleh Nabi Muhammad SAW adalah yang kontinue meskipun sedikit. Dan beliau apabila melaksanakan satu shalat, beliau mengkontinoukannya’. (HR. Bukhari)
Terdapat beberapa ibrah dan hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Keutamaan puasa sunnah di bulan sya’ban. Bahkan digambarkan oleh Aisyah ra dalam hadits di atas, bahwa Rasulullah SAW berpuasa penuh di bulan sya’ban, di mana beliau tidak pernah berpuasa sunnah sebanyak itu di bulan-bulan lainnya. Terdapat cukup banyak hadits-hadits lain dalam kitab-kitab hadits yang menggambarkan mengenai keutamaan di bulan sya’ban. Meskipun pada riwayat yang hampir serupa dengan hadits di atas, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW berpuasa penuh di bulan sya’ban, kecuali sedikit : Dari Abu Salamah ra berkata, ‘Aku tidak melihat beliau berpuasa pada bulan-bulan tertentu lebih banyak di bandingkan dengan puasa beliau di bulan sya’ban. Beliau berpuasa penuh di bulan sya’ban, beliau berpuasa di bulan sya’ban kecuali sedikit.’ (HR. Muslim)

2.      Bersamaan dengan hal tersebut, terdapat beberapa riwayat yang secara dzahir terlihat adanya larangan untuk berpuasa di paruh akhir di bulan sya’ban. Diantaranya adalah hadits berikut : Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila sudah sampai pertengahan bulan sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.’ (HR. Abu Daud) Namun menurut sebagian besar ulama, diantaranya adalah Ibnu Rajab, dalam Latha’iful Ma’arif Fima Limusimil ‘Am Minal Wadza’if, mengemukakan bahwa, ‘Kebanyakan ulama mendha’ifkan hadits ini.’ Beliau juga mengemukakan mengenai adanya ijma’ ulama untuk tidak beramal dengan hadits tersebut, karena hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih yang bahkan menganjurkan untuk berpuasa penuh di bulan sya’ban.

3.     Hendaknya seorang muslim memberi jarak dalam berpuasa di bulan sya’ban dengan ramadhan. Atau dengan kata lain, tidak menyambung puasa sya’bannya dengan puasa ramadhan. Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang melakukan hal tersebut. Dan cukuplah bagi kita hadits dari Rasulullah SAW berikut: Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda, ‘Janganlah salah seorang diantara kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka ia boleh berpuasa pada hari tersebut. (HR Bukhari)

4.     Hikmah yang dapat dipetik dari banyak puasa sunnah yang dilakukan Rasulullah SAW pada bulan sya’ban adalah karena ;
Bulan sya’ban merupakan bulan diangkatnya amal perbuatan kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat dikemukakan : Dari Usamah bin Zaid ra berkata, aku bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, aku tidak melihatmu berpuasa sunnah di bulan-bulan lainnya (sebanyak) engkau berpuasa di bulan sya’ban?’ Beliau bersabda, ‘Ia merupakan bulan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu antara rajab dan ramadhan. Dan sya’ban merupakan bulan diangkatnya amal perbuatan manusia kepada Allah SWT, dan aku ingin ketika amalku diangkat dan dilaporkan kepada Allah, aku dalam keadaan berpuasa.’ (HR. Nasa’i)
Bulan sya’ban merupakan pintu gerbang menuju sebuah bulan yang agung, yaitu bulan ramadhan. Dan amalan wajib sekaligus amalan paling utama di bulan ramadhan adalah puasa ramadhan. Oleh karenanya setiap muslim harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ‘kompetisi’ kebaikan di bulan ramadhan, diantaranya dengan ‘latihan’ berpuasa sunnah di bulan sya’ban. Mengenai hal ini, Syekh Ibnu Rajab mengemukakan, (al-Wakil, 1997 : 15) : “Sesungguhnya pada puasa sya’ban itu adalah seperti latihan untuk puasa ramadhan. Agar seseorang tidak merasakan kesusahan dan kepayahan dalam berpuasa ramadhan, bahkan sebaliknya ia telah terbiasa dan ternuansakan dengan puasa. Dengan puasa sya’ban inipun, seseorang dapat merasakan manisnya puasa ramadhan. Ia pun melaksanakan kewajiban untuk berpuasa dengan kekuatan dan keenerjikan.”

5.   Sebagian besar masyarakat kita sering melakukan puasa nishfu sya’ban, sementara sebagian lainnya ada pula yang membid’ahkannya. Mengenai hal ini terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah SAW dalam hadits berikut : Ali bin Abi Thalib ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila tiba malam pertengahan bulan Sya’ban, maka shalatlah kalian pada malam harinya dan puasalah kalian pada siang harinya. Karena sesungguhnya Allah SWT turun pada waktu tersebut, pada waktu terbenamnya matahari ke langit dunia, kemudian berfirman, ‘Adakah orang yang memohon ampunan pada-Ku, maka akan Aku ampuni dosa-dosanya. Adakah orang yang meminta rizki pada-Ku, maka akan Aku berikan rizki padanya. Adakah orang yang sakit, maka akan aku sembuhkan dari penyakitnya. Adakah orang yang demikian, maka demikian’, hingga terbitnya matahari. (HR. Ibnu Majah) Hadits ini merupakan hadits dhaif, karena dalam hadits ini terdapat ibnu Abi Sabrah dan ia merupakan perawi yang dhaif sebagaimana dikemukakan oleh para Imam Jarh Wa Ta’dil. Kemudian Muhammad bin Muawiyah juga dikatakan oleh para ahli hadits sebagai shuduq yukhti’ yang cukup jauh untuk kekredibilitasan seorang perawi yang tsiqah. Ditambah lagi dengan Muawiyah bin Abdillah bin Ja’far yang hanya maqbul dalam peringkat ta’dil. Oleh karenanya para ulama mengatakan, diantaranya Ibnu Rajab bahwa mengkhususkan berpuasa pada nishfu sya’ban dengan keyakinan memiliki fadhilah tertentu adalah tidak ada dasar nash shahihnya. Meskipun melaksanakannya diperbolehkan mengingat nishfu sya’ban berada di bulan sya’ban, dimana Rasulullah SAW banyak berpuasa pada bulan tersebut dan karena nishfu sya’ban berada diantara hari-hari ayyamul baidh yang kita dianjurkan untuk berpuasa sunnah setiap bulannya.

6.   Terakhir adalah, bahwa Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk melakukan suatu amalan dengan langgeng dan kontinyu meskipun hanya sedikit. Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa ketika beliau ditanya tentang amalan yang paling dicintai Allah SWT, beliau menjawab, ‘Amalan yang paling langgeng meskipun sedikit.’ (HR. Bukhari). Oleh karenanya hendaknya kita memprogram setiap aktivitas ibadah kita, agar dapat dilaksanakan secara terus menerus dan langgeng.

Wallahu A’lam Bis Shawab

Selasa, 19 Juni 2012

Kasih Sayang Yang Berbuah Surga



Dari Aisyah ra beliau berkata, “Seorang wanita miskin datang kepadaku, dia membawa dua anak wanita, lalu aku memberinya tiga korma. Lalu dia memberi kepada setiap anaknya sebutir kurma. Dan satu butir kurma lagi hendaknya dimakannya. Namun ketika ia hendak memakan kurma itu, dua anaknya meminta, maka kurma yang akan dimakannya itu dibelah dan diberikan kepada mereka. Aku kagum terhadap apa yang diperbuatnya, kemudian aku menceritahaknnya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Karena perbuatan tersebut,Allah telah mewajibkan kepadanya untuk masuk surga, atau Allah telah membebaskannya dari api neraka.” (HR. Muslim)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantara hikmah-hikmahnya
adalah sebagai berikut :
1.   Bahwa cara untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT sangat banyak dan terbentang luas dihadapan kita. Kita hanya tinggal berusaha, untuk senantiasa menebar kebaikan dimanapun kita berada, dan terhadap siapapun juga. Karena buah dari setiap perbuatan baik, adalah keridhaan Allah SWT. Dan apabila Allah telah ridha kepada seorang hamba, maka surga adalah balasannya. Oleh karenanya, hendaknya kita selalu berusaha untuk menebar kebaikan, dimanapun, kapanpun dan terhadap siapapun, bahkan termasuk terhadap orang yang tidak menyukai kita.

2.   Kasih sayang merupakan fitrah insaniyah (fitrah bagi setiap insan), yang juga menjadi intisari ajaran agama Islam, khususnya dalam aspek hablum minannas (hubungan antara sesama manusia). Setiap orang senang disayangi dan dicintai. Dan siapa yang menyayangi banyak orang, maka ia pun akan disayangi oleh banyak orang pula. Bahkan orang yang menyayangi orang lain, bukan hanya akan disayangi oleh sesama manusia, namun juga akan disayangi oleh para malaikat dan tentunya Allah SWT. Dalam sebuah riwayat disebutkan : Dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang berkasih sayang akan disayangi oleh Allah yang Maha Rahman. Maka sayangilah orang-orang yang ada di bumi, niscaya akan menyangi kalian orang-orang yang yang ada di langit. Kasih sayang merupakan dahan yang rindang dari Allah yang Maha Rahman. Barang siapa yang menyambungnya, maka Allah akan menyambungkannya. Dan barang siapa yang memutusnya, maka Allah akan memutuskannya.” (HR Turmudzi, beliau berkata 'Ini hadis Hasan Shahih).

3.  Sebaliknya, orang yang tidak mau menyayangi orang lain, atau tidak berusaha untuk menyayangi orang lain, maka ia pun tidak akan disayangi orang lain. Fenomena seperti ini sesungguhnya senantiasa terlihat dalam setiap sisi kehidupan. Di masyarakat contohnya, orang yang jarang bertegur sapa, enggan untuk bersosial dengan masyarakat, berat untuk membantu orang lain, maka orang lainpun akan memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan masyarakatnya. Dalam riwayat lainnya disebutkan : Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali ra, sementara di samping beliau ada Aqra' bin Habis At-Tamimy sedang duduk. Ia berkata, Aku memliki 10 orang anak, dan tidak satupun yang aku cium. Kemudian Rasulullah SAW memandangnya dan bersabda, “Barang siapa yang tidak menyangi, maka ia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari & Muslim)

4.  Dalam kisah yang lainnya, Rasulullah SAW pernah menceritakan tentang seorangwanita yang masuk neraka lantaran mengurung seekor kucing, hingga mati. Ia tidak membiarkannya lepas hingga kucing tersebut bisa mencari makan sendiri. Namun ia juga tidak memberinya makan, hingga kucing tersebut mati. Atas perbuatannya tersebut, ia masuk neraka sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari : Dari Abdullah bin Amru ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Seorang wanita diazab Allah karena seokor kucing yang dikurungnya hingga mati kelaparan. Maka ia dimasukkan ke dalam neraka. Allah Maha Mengetahui engkau (wanita tersebut) tidak memberinya makan dan minum ketika engkau mengurungnya, dan engkau juga tidak melepaskannya hingga ia bisa memakan serangga-serangga bumi.” (HR. Bukhari)

5.  Bahwa seorang ibu memiliki kemuliaan tersendiri dalam pandangan ajaran agama Islam. Oleh sebab itulah kita diminta untuk memprioritaskan untuk berbuat baik kepada ibu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah riwayat ketika Rasulullah SAW ditanya mengenai siapakah orang yang paling “diprioritaskan” untuk kita berbuat baik terhadapnya, beliau menjawab, “Ibumu” : Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?' Beliau menjaawab, 'Ibumu'. Kemudian ia bertanya lagi, 'Lalu siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya lagi, 'Kemudian siapa wahai Rasulullah? Beliau mejawab, 'Ibumu'. Kemudian siapa lagi wahai Rasulullah? Beliau menjawab, 'Ayahmu'. (Muttafaqun Alaih)

6.  Dalam kehidupan sehari hari, kita dianjurkan mengamalkan nilai kasih sayang terhadap siapapun, tidak terkecuali juga dalam muamalah. Terhadap orang yang berkhianat sekalipun, Rasulullah SAW berpesan kepada kita untuk tidak membalas khianatnya tersebut dengan perbuatan khianat tandingan. Namun hendaknya kita tetap memperlakukannya secara baik.
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberikan amanah kepadamu, namun jangalah pula engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Turmudzi)
Wallahu A'lam Bis Shawab

Sabtu, 09 Juni 2012

Keutamaan Bulan Rajab


Keutamaan Bulan Rajab

Dari Dari Abu Bakrah Nufai' bin Harits ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya
zaman telah berputar seperti keadaannya pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun adalah dua belas bulan. Diantaranya terdapat empat bulan suci. Tiga bulan berurutan,
(yaitu) dzulqa'dah, dzulhijjah dan muharram. Sedangkan satu lagi adalah Rajab mudhar, yang
terletak antara jmuadil akhir dengan sya'ban.” (Muttafaqun Alaih)

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini. Diantara hikmah-hikmah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa bulan rajab merupakan salah satu bulan-bulan haram/ muharram, yaitu
bulan-bulan yang dimuliakan Allah SWT atau sebagai bulan-bulan yang suci.
Hadits di atas menggambarkan bahwa terdapat empat bulan-bulan haram, dimana tiga
bulan diantaranya adalah bulan-bulan yang berurutan (yaitu dzulqa'dah, dzulhijjah dan
muharram), serta ada satu bulan yang terpisah, yaitu bulan Rajab. Hadits di atas
sekaligus menguatkan makna firman Allah SWT berikut :
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya;
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah : 36)

2. Bahwa riwayat tidak dijelaskan secara lebih mendalam mengenai makna dari
kekhususan bulan-bulan haram tersebut. Hanya terdapat keterangan yang
menggambarkan bahwa dahulu orang-orang jahiliyah mengabaikan bulan-bulan haram
ini, dengan melakukan peperangan padahal seharusnya mereka tidak boleh
melakukannya di bulan-bulan tersebut. Lalu mereka menjadikan bulan-bulan berikutnya
menjadi bulan-bulan haram, sebagai pengganti bulan haram yang mereka berperang di
dalamnya. Dalam kitab Nuzhatul Muttaqin dijelaskan, “Pada masa jahiliyah, jika mereka
ingin perang di bulan suci, mereka tetap saja berperang di bulan itu, lalu menjadikan
bulan sesudahnya sebagai bulan suci. Misal, mereka ingin perang dibulan Rajab, maka
mereka melaukan perang di bulan itu tanpa mengindahkan kesucian bulan Rajab, lalu
menggantinya dengan bulan Sya'ban. Islam tidak membenarkan tindakan semacam ini,
sekaligus menegaskan bahwa ada empat bulan suci.” (Nuzhatul Muttaqin, Juz 1 hal 186)

3. Dalam bulan-bulan haram (yang dimuliakan) ini, tersirat adanya anjuran untuk
memperbanyak amal shaleh: Diantara isyarat tersebut, datang dari riwayat Mujibah
Al-Bahiliyah, menceritakan dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada
ayahnya (Al-Bahily), “Puasalah di bulan yang penuh dengan kesabaran (ramadhan) dan
satu hari setiap bulan.” Ia berkata, “Tambahkanlah buat saya, karena saya benar-benar
kuat.” Beliau bersabda, “Puasalah dua hari setiap bulan”. Ia berkata, “Tambahkanlah
buat saya, karena saya benar-benar kuat.” Beliau bersabda, “Puasalah tiga hari setiap
bulan.” Ia berkata, “Tambahkanlah buat saya.” Beliau bersabda, “Puasalah di bulanbulan
yang disucikan (bulan-bulan haram) : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari
beliau) dan tiga hari berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan). Puasalah di
bulan-bulan yang disucikan : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari beliau) dan
tiga hari berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan). Puasalah di bulan-bulan
yang disucikan : tiga hari puasa (sambil merapatkan tiga jari beliau) dan tiga hari
berbuka (sambil melepaskan tiga jari yang dirapatkan)” (HR. Abu Daud)

4. Hadits ini (Al-Bahily, poin 3) menggambarkan tentang adanya anjuran
melaksanakan puasa sunnah secara umum dan tidak menunjukkan adanya
anjuran untuk melaksanakan puasa sunnah secara khusus di bulan Rajab,
(menurut sebagian ulama). Karena dilihat dari teks haditsnya, gambaran yang
Rasulullah SAW berikan kepada Al-Bahily adalah anjuran untuk melaksanakan puasa
secara umum dan tidak ada pengkhususan berpuasa di bulan Rajab. Namun sebagian
ulama lainnya menganggap bahwa ungkapan Rasulullah SAW dalam hadits di atas
merupakan satu anjuran untuk melaksanakan puasa sunnah secara khusus di bulanbulan
haram, termasuk di bulan Rajab. Dalam riwaya lainnya disebutkan :
Dari Utsman bin Hakim ra, aku bertanya kepada Sa'id bin Jubair tentang puasa Rajab, sedangkan
kami ketika itu berada di bulan Rajab. Beliau (Sa'id bin Jubair ra) berkata, aku mendengar Ibnu
Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW itu berpuasa sehingga seolah-oleh beliau tidak pernah
berbuka. Dan beliau selalu senantiasa berbuka sehingga seolah-olah tidak berpuasa.” (HR. Muslim)

5. Memang terdapat beberapa riwayat yang menggambarkan adanya anjuran
untuk melakukan puasa sunnah di hari-hari tertentu di bulan Rajab, dengan
penggambaran memiiki fadhilah yang sangat besar, namun umumnya riwayatriwayat
tersebut adalah riwayat yang sangat dha'if, atau bahkan maudhu' (palsu).
Sehingga apabila kita hendak melaksanakan puasa sunnah di bulan Rajab, maka
berpuasalah sebagaimana puasa di bulan-bulan lainnya, seperti pada hari senin & kamis,
atau pada ayyamul baid (tanggal 13, 14 & 15 Rajab). Karena bagaimanapun juga,
berpuasa sunnah memiliki keutamaan tersendiri, sebagaimana yang digambarkan
Rasulullah SAW dalam hadtis Al-Bahily (poin 3) yang bahkan adanya anjuran
melaksanakan puasa sunnah di bulan-bulan haram.

6. Terdapat doa yang umumnya dilafalkan ketika memasuki bulan Rajab, seperti
doa berikut :
Ya Allah, berikanlah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikanlah (usia kami),
hingga bulan ramadhan.
Dilihat secara riwayat, hadits ini merupakan hadits dha'if yang diriwayatkan oleh Al-
Bazzar. Karena diantara perawinya terdapat Za'idah bin Abi Ar-Riqad. Sedangkan ia
dikatakan oleh Imam Bukhari sebagai perawi yang munkar. Jamaah ahli hadits juga
menjahalkannya, artinya bahwa, Zaidah bin Abi Ar-Riqad ini majhul (tidak diketahui),
demikian dikatakan oleh Imam Al-Haitsami dalam kitab Majma' Zawa'id. Oleh karena
itulah sebagian kalangan tidak mau mengamalkan hadits ini, dikarenakan haditsnya
dha'if. Namun sebagian lainnya masih mengamalkan, dengan alasan bahwa riwayat
tersebut hanya doa, dan doa (khususnya yang tidak terkait langsung dengan ibadah)
merupakan hal yang dianjurkan, terlebih-lebih manakala isi dari doa tersebut hanya
meminta kebaikan dan keberkahan di bulan Rajab dan sya'ban, serta agar disampaikan
usia kita ke bulan Ramadhan. Penulis melihat bahwa apabila doa ini dilafalkan hanya
untuk meminta kebaikan bulan Rajab dan Sya'ban, serta agar usia kita disampaikan
hingga ke bulan ramadhan, maka itu boleh saja. Karena kandungan doa tersebut adalah
baik. Yang tidak boleh adalah, adanya keyakinan bahwa membaca doa ini sebagai satu
keharusan untuk dibaca pada bulan Rajab.
Wallahu A’lam Bis Shawab